RESUME SISTEM POLITIK INDONESIA
disusun untuk memenuhi
tugas mata kuliah ‘Sistem Politik Indonesia’
Dosen Pengampu: Dr.H.Cecep
Suryana Drs.,M.Si
Judul Buku SISTEM POLITIK INDONESIA
Konsolidasi Demokrasi Pasca-Orde Baru
PengarangPROF. DR. KACUNG MARIJAN
PenerbitPrenadamedia Group
Tebal/Jumlah Halamanxix+361 hlm
Kelas: Humas 3B
Politik memang selalu
berkaitan dengan kondisi suatu negara, dalam hal ini negara Indonesia yang
menjadi perbincangan utama sesuai dengan judul yang ditulis yakni sistem
politik Indonesia. Dalam hal ini terdapat transfer kekuasaan yang berlangsung
pada saat lengsernya Suharto pada tanggal 21 Mei 1998 kepada wakilnya B. J.
Habibie. Namun, dalam praktiknya dari krisis yang terjadi hingga melengserkan
presiden Suharto tetap saja tidak mengubah banyak keadaan perpolitikan di
Indonesia. Menurut Herbert Feith, ada agenda utama yang harus diwujudkan untuk
mewujudkan ketertiban nasional dan politik. Yaitu: political order, social
order, economic order,legal order, dan security
order. Kecenderungan Indonesia
terjebak pada sistem politik otoriter adalah adanya sentralitas kekuasaan.
Dimana hal ini tidak memisahkan kekuasaan antara legislatif, eksekutif dan
yudikatif. Untuk itulah sejak lengsernya Suharto diadakan amandemen pada UUD
yang mengatur tentang kekuasaan eksekutif, yudikatif dan legislatif. Adanya
amandemen mulai tahun 2004, presiden dan seluruh anggota MPR dipilih langsung
oleh rakyat melalui pemilu. Hal ini dilakukan agar tidak terulangnya kekuasaan
otoriter seperti zaman Suharto. Demikian juga agar terdapat mekanismecheks and balances yang
seimbang dan terjadinya akuntabilitas serta berjalannya sistem perwakilan yang
ada antara yang terwakili dan yang diwakili. Sebagai negara yang
masih dalam proses menuju demokrasi yang sesungguhnya, Indonesia tidak lepas
dari fenomena-fenomena munculnya partai-partai baru. Untuk itulah Indonesia
mulai tahun 2008 menggunakan sistem parliamentarythreshold (PT),
yakni di dalam sistem ini hanya partai-partai yang memperoleh suara minimal
2,5% saja yang mampu menarik kursi di DPR. Karena itulah dimungkinkan hanya
kurang dari 10 partai saja yang dapat meraihnya. Tetapi hal ini hanya berlaku
pada tingkat pusat. Sehingga partai yang gagal masih memungkinkan untuk
mengikuti pemilu pada periode berikutnya atau memperoleh kursi di daerah. Dan
dalam buku ini juga disebutkan bahwa apabila sistem threshold diterapkan,
maka sistem kepartaian yang muncul adalah sistem kepartaian multipartai
moderat. Demokrasi juga ditandai
oleh adanya 3 prasyarat: kompetensi di dalam memperebutkan dan mempertahankan
kekuasaan, partisipasi masyarakat dan adanya jaminan hak-hak sipil dan politik.
Hal inilah juga perlu didukung oleh sistem pemilu yang mumpuni, yang dalam buku
ini diterangkan dengan penjelasan instrumen untuk menerjemahkan perolehan suara
di dalam pemilu ke dalam kursi-kursi yang dimenangkan oleh partai atau calon.
Dan di dalam sistem politik dan pemilu di Indonesia sistem pluralitas/mayoritas
lebih dikenal sebagai sistem distrik. Yang sejak pemilu 1995 Indonesia mulai
menganut sistem proporsional dalam pemilu dan menggunakan sistem penyuaraan
yang dari hanya memilih partai ke memilih partai dan calon yang ada di dalam
daftar partai dan alokasi suara berdasarkan perolehan, bukan hanya nomor urut.
Dengan perubahan besar pula yakni memilih presiden dan wapres langsung sejak
2004 dan kepala serta wakil kepala daerah yang dipilih langsung sejak 1 Juni
2005. Budaya politik yang ada
dalam masyarakat yang masih bercorak patronclient, serta perilaku
pemilih yang semata-mata bercorak “voluntary” serta “transaksi material”
juga menyuburkan terdapatnya disconnect electoral dimana
wakil yang terpilih hanya berjalan dengan agendanya sendiri-sendiri. Dengan
demikian, diperlukan adanya transaksi kebijakan pada masa yang akan datang
untuk membuat politik Indonesia yang lebih baik. Untuk mendukung itulah
perlu adanya pemeritahan yang accountability danresponsibility.
Maka di banyak negara, khususnya negara berkembang banyak menggunakan sistem
desentralisasi. Hal ini dimaksudkan agar alokasi penyediaan barang-barang dan
pelayanan publik akan menjadi lebih efisien, dan mendorong demokratisasi di
daerah. Meskipun demikian, masih ada sisi negatif dan positif dari
desentralisasi itu sendiri, maka pemerintah mengeluarkan UU Nomor 22 dan Nomor
25 tahun 1999 tentang kebijakan otonomi daerah. Untuk itulah perlu
dipakai satu cara untuk mengefektifkan kebijakan desentralisasi, yaitu dengan
meletakkannya dalam konteks hubungan antara pemerintah pusat dan daerah yang
lebih dinamis. Apabila hal ini sudah terwujud, maka bukan tidak mungkin otonomi
daerah akan berjalan dengan baik. dalam UU Nomor 5 tahun 1974, yakni untuk
menjaga integrasi nasional, demokratisasi dan efisiensi, efektivitas proses
pemerintahan, manajemen pembangunan dan pelayanan pembangunan dan pelayanan di
daerah. Menurut Brian C. Smith,
munculnya transisi demokrasi di daerah berangkat dari suatu keyakinan bahwa demokrasi
di daerah merupakan prasyarat bagi munculnya demokrasi di tingkat nasional
(1998: 85-86). Dan Smith mengemukakan empat alasan pandangan tersebut yakni,
demokrasi pemerintahan di daerah merupakan suatu ajang pendidikan yang relevan
bagi warga negara di dalam suatu masyaarakat yang demokratis, pemerintah daerah
bisa menjadi pengontrol bagi perilaku pemerintah pusat, kualitas partisipasi di
daerah dianggap lebih baik jika dibandingkan apabila terjadi di hanya pusat,
legitimasi pemerintah pusat akan mengalami penguatan apabila pemerintah pusat
itu melakukan reformasi di tingkat lokal. Namun, hal ini akan terhambat apabila
adanya patronase kepentingan di dalam mengalokasikan dan mendistribusikan
sumber-sumber politik dan ekonomi di daerah kepada kelompok-kelompok tertentu
saja. Untuk menjembati hal
yang memisahkan antara masyarakat, DPR dan pemerintah, maka diadakan UU yang
mengatur tentang pemilihan kepala daerah langsung, DPR maupun DPD langsung. Hal
ini dimaksudkan agar tidak terjadi kesenjangan antara masyarakat dan pemerintah
serta DPR dan kepala daerahnya. Relasi antara kepala daerah dengan rakyat
secara teoritis, bisa lebih baik lagi karena para kepala daerah dituntut
memiliki akuntabilitas yang lebih baik. Dan Pilkada yang di adakan secara langsung
juga dapat melahirkan relasi baru antara Kepala Daerah-DPRD. Yang akan
memunculkan tiga pola yaitu “executive heavy”, “checks andbalances”
dan “legislative heavy”. Setelah runtuhnya Orde
Baru, Indonesia berusaha untuk mereformasi birokrasi yang telah ada, yakni
membawa birokrasi netral agar tidak seperti yang terjadi pada masa Orba, saat
terjadi otoritarisme. Keinginan untuk membawa birokrasi netral secara politik
dimaksudkan untuk menghindari adanya penyalahgunaan kekuasaan terhadap
birokrasi. Seperti adanya intervensi politik di dalam penempatan
jabatan-jabatan di dalam birokrasi, adanya penyalahgunaan atas sumber-sumber
keuangan dan fasilitas-fasailitas publik yang dimiliki oleh birokrat, membuat
terjadinya pemihakan-pemihakan kepada kelompok tertentu yang sealiran dengan
para birokrat yang bersangkutan. Dalam taraf tertentu,
upaya–upaya yang dilakukan untuk reformasi birokrasi sudah membawa hasil yang
cukup berarti seperti mulai berkurangnya fenomena pelibatan dan penggalangan
dukungan politik melalui birokrasi sangat minim, jauh berbeda dengan apa yang
terjadi pada zaman ORBA. Namun, masih tidak dapat dipungkiri bahwa politisasi
birokrasi tidak dapat dihindari. Hal ini berkaitan dengan sifat dasar birokrasi
yang tidak lepas dari banyaknya kepentingan dan birokrasi tidak semata-mata
bertindak untuk kepentingan publik semata, karena adanya faktor tarikan dari
pejabat politik yang terpilih atau berkuasa. Dan usaha untuk meningkatkan
pelayanan publik terus dilakukan dengan cara kebijakan desentralisasi, dengan
desentralisasi terdapat transfer urusan pemerintahan pusat ke daerah dan juga
kepegawaian hingga diharapkan meratanya pelayanan publik sehingga merangsang
kreativitas daerah hingga adanya lembaga “one stop Service”
di dalam pengurusan perizinan hingga dapat mewujudkan birokrasi yang
profesional. Relasi antara militer
dan politik di dalam suatu negara pada dasarnya tidak bisa dilepaskan dari
karakteristik sistem politiknya. Di negara otoriter atau totaliter, pengaruh
militer di dalam kehidupan politik sangat besar dan merupakan bagian terpenting
dari kekuasan, atau bahkan merupakan penguasa sendiri seperti di negara
militer. Sementara di negara demokrasi pengaruh militer cenderung mengecil
karena adanya paradigma supremasi sipil atas militer. Militer dengan demikian
berada di bawah kendali sipil. Militer dapat tetap
berintervensi dalam dunia politik tatkala adanya suasana sistem politik yang
sedang berlangsung tidak stabil. Militer memiliki ruang yang lebih leluasa
untuk masuk ke wilayah politik di negara-negara yang tergolong lemah, dalam
kondisi tidak stabil dan terjadi pembusukan politik. Dengan alasan membuat
stabilitas, permintaan, dan legitimasi atau ketika konsep NKRI dianggap dalam
bahaya. Antara militer dan sipil terdapat relasi yang saling terkait dalam
demokrasi seperti tentara profesional, dimana kontrol dilakukan oleh sipil
melalui pemaksimalan profesionalisme di dalam tubuh militer. Cara demikian
dilakukan agar tentara merasa dihargai atas kemampuan yang dimilikinya. Dalam
hal ini membutuhkan reformasi dalam tubuh militer atau TNI, dan reformasi dalam
tubuh TNI atau militer ini berasal dari berbagai tuntutan kelompok, mulai dari
kelompok civil society sampai politicalsociety. Berbicara tentang sistem
suatu negara tidak dapat dilepaskan dari sistem perekonomianya pula. Pasca
lengsernya Orde Baru, kekuasaan negara terfragmentasi secara vertikal maupun
horizontal. Secara vertikal terjadi karena adanya kebijakan otonomi daerah dan
terfragmentasi horizontal karena tidak ada lagi kekuatan politik yang dominan
di dalam proses-proses politik. Namun, hal ini tidak menjadikan Indonesia
menjadi negara kapitalis yang berasas ekonomi pasar bebas. Adanya patronase
dalam politik, serta menguatnya kekuatan-kekuatan di luar negara membuat
Indonesia cenderung menuju arah “Patrimonial Oligarchic State”,
dimana kekuatan yang mengendalikan pasar memperoleh keuntungan yang lebih besar
dari yang lainnya. Dan karena hal ini, negara berusaha membuat kebijakan yang
lebih berimbang, yakni yang menguntungkan banyak pihak, sebagai mana yang
terjadi dalam negara “embedded autonomy”. Konsep Peter Evan
tentang “embedded autonomy”Bahwa negara itu memiliki
kapasitas tidak tergantung dan dibawah dominasi kelas tertentu, meskipun tidak
lepas sama sekali dari keterkaitannya dengankelompok-kelompok yang ada didalam
masyarakat. Selain itu pada masa
pasca-orde baru dalam kaitannya, Media massa memiliki perngaruh yang sangat
besar terhadap jalannya pemerintahan, mengingat media massa juga berfungsi
sebagai media kontrol atas kinerja pemerintah dan penyambung jalan antara
aspirasi masyarakat kepada pemerintahan. Mengingat peran dan posisi media massa
yang begitu penting, keberadaannya sering dikaitkan dengan demokratis tidaknya
suatu negara. Sistem politik yang demokratis memungkinkan media massa lebih
bebas. Media massa berperan sebagai lembaga yang aktif di dalam mendorong
terjadinya proses demokratisasi dan berpengaruh besar dalam negara demokrasi.
Sebagaimana dikemukakan oleh Kenneth Newton dan Jaw W van Deth bahwa terdapat 4
teori untuk menjelaskan ada tidaknya pengaruh media massa yaitu:1. Teori penguatan (reinforcement) yaitu teori yang menjelaskan bahwa
pengaruh media massa itu minimal.2. Teori setting agenda yaitu teori yang menjelaskan bahwa
media massa dianggap tidak dapat menentukan apa yang kita pikirkan. Media massa
dianggap dapat dan memiliki pengaruh terhadap apa yang kita pikirkan
Tebal/Jumlah Halamanxix+361 hlm
Kelas: Humas 3B
- Sistem pers liberal yaitu sistem pers yang diberi kebebasan seluas luasnya sebagai arena untuk mencari kebenaran tetapi kebenarannya bersifat tidak mutlak dan dikendalikan oleh kelompok tertentu.
- Sistem pers komunis yaitu sistem pers merupakan alat media massa pemerintah atau partai komunis yang berkuasa dan merupakan bagian integral dari Negara.
- Sistem pers tanggung jawab sosial yaitu sistem yang dianggap memiliki kebebasan tetapi kebebasannya tidak mutlak karena pers dituntut memiliki tanggung jawab sosial terhadap masyarakat.
Tahun TerbitCetakan ke-4, Januari
2015
Nama: Ranti NuaritaNim: 1154060066
.3. Teori priming dan framing yaitu
teori priming menjelaskan bahwa media dapat mempengaruhi karna
lebih fokus pada isu-isu tertentu bukan yang lainnya sementara teori framing mempengaruhi
menjelaskan bahwa media melakukanset up untuk
mempengaruhi penafsiran pembaca pemirsa dan pendengar tentang suatu isu dalam
makna tertentunya.
4. Teori efek langsung yaitu teori yang menjelaskan bahwa media dipandang
memiliki pengaruh langsung pada sikap dan perilaku seseorang termasuk di dalam
perilaku politik. Besar kecilnya pengaruh media massa terhadap politik
berkaitan dengan corak sistem politik suatu negara. Besar kecilnya pengaruh
media massa terhadap politik pada kenyataannya berkaitan dengan corak sistem
politik suatu negara. Hal ini juga pernah diargumentasikan oleh Siebert,
Peterson, dan Schramm (1963), yang mengelompokkan pers menjadi 4 sistem, yakni:
1. Sistem pers otoriter yaitu sistem pers yang berfungsi menunjang negara.
Pemerintah secara langsung menguasai dan mengawasi berbagai kegiatan media
massa. Kebebasan pers bergantung pada penguasa yang memiliki kekuasaan yang
mutlak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar