Sabtu, 18 Februari 2017

RESENSI SISTEM POLITIK INDONESIA

RESENSI SISTEM POLITIK INDONESIA
disusun untuk memenuhi tugas mandiri mata kuliah ‘Sistem Politik Indonesia’
Dosen Pengampu: Dr.H.Cecep Suryana Drs.,M.Si

Judul Buku
SISTEM POLITIK INDONESIA Konsolidasi Demokrasi Pasca-Orde Baru
Pengarang
PROF. DR. KACUNG MARIJAN
Penerbit
Prenadamedia Group
Tebal/Jumlah Halaman
15x23 cm
xxii+364 hlm
Tahun Terbit
Cetakan ke-4, Januari 2015





Nama:  Ranti Nuarita
Nim:    1154060066
Kelas:  Humas 3B







Buku Sistem Politik Indonesia (Konsolidasi Demokras Pasca Orde Baru) PROF. DR. KACUNG MARIJAN ini menjelaskan mengenai Sistem Politi yang ada di Indonesia dengan penekanannya lebih kepada Politik Pasca Orde baru jga penjelasan mengenai Politik-politik sebelumnya. Dalam buku ini juga bayak dijelaskan mengenai struktur politik, budaya politik, fungsi politik serta terdapat contoh-contoh pengimplementasian politik di Indonesia.

Ringkasan

Politik memang selalu berkaitan dengan kondisi suatu negara, dalam hal ini negara Indonesia yang menjadi perbincangan utama sesuai dengan judul yang ditulis yakni sistem politik Indonesia. Dalam hal ini terdapat transfer kekuasaan yang berlangsung pada saat lengsernya Suharto pada tanggal 21 Mei 1998 kepada wakilnya B. J. Habibie. Namun, dalam praktiknya dari krisis yang terjadi hingga melengserkan presiden Suharto tetap saja tidak mengubah banyak keadaan perpolitikan di Indonesia. Menurut Herbert Feith, ada agenda utama yang harus diwujudkan untuk mewujudkan ketertiban nasional dan politik. Yaitu: political ordersocial ordereconomic order,legal order, dan security order

Kecenderungan Indonesia terjebak pada sistem politik otoriter adalah adanya sentralitas kekuasaan. Dimana hal ini tidak memisahkan kekuasaan antara legislatif, eksekutif dan yudikatif. Untuk itulah sejak lengsernya Suharto diadakan amandemen pada UUD yang mengatur tentang kekuasaan eksekutif, yudikatif dan legislatif. Adanya amandemen mulai tahun 2004, presiden dan seluruh anggota MPR dipilih langsung oleh rakyat melalui pemilu. Hal ini dilakukan agar tidak terulangnya kekuasaan otoriter seperti zaman Suharto. Demikian juga agar terdapat mekanismecheks and balances yang seimbang dan terjadinya akuntabilitas serta berjalannya sistem perwakilan yang ada antara yang terwakili dan yang diwakili.

Sebagai negara yang masih dalam proses menuju demokrasi yang sesungguhnya, Indonesia tidak lepas dari fenomena-fenomena munculnya partai-partai baru. Untuk itulah Indonesia mulai tahun 2008 menggunakan sistem parliamentarythreshold (PT), yakni di dalam sistem ini hanya partai-partai yang memperoleh suara minimal 2,5% saja yang mampu menarik kursi di DPR. Karena itulah dimungkinkan hanya kurang dari 10 partai saja yang dapat meraihnya. Tetapi hal ini hanya berlaku pada tingkat pusat. Sehingga partai yang gagal masih memungkinkan untuk mengikuti pemilu pada periode berikutnya atau memperoleh kursi di daerah. Dan dalam buku ini juga disebutkan bahwa apabila sistem threshold diterapkan, maka sistem kepartaian yang muncul adalah sistem kepartaian multipartai moderat.

Demokrasi juga ditandai oleh adanya 3 prasyarat: kompetensi di dalam memperebutkan dan mempertahankan kekuasaan, partisipasi masyarakat dan adanya jaminan hak-hak sipil dan politik. Hal inilah juga perlu didukung oleh sistem pemilu yang mumpuni, yang dalam buku ini diterangkan dengan penjelasan instrumen untuk menerjemahkan perolehan suara di dalam pemilu ke dalam kursi-kursi yang dimenangkan oleh partai atau calon. Dan di dalam sistem politik dan pemilu di Indonesia sistem pluralitas/mayoritas lebih dikenal sebagai sistem distrik. Yang sejak pemilu 1995 Indonesia mulai menganut sistem proporsional dalam pemilu dan menggunakan sistem penyuaraan yang dari hanya memilih partai ke memilih partai dan calon yang ada di dalam daftar partai dan alokasi suara berdasarkan perolehan, bukan hanya nomor urut. Dengan perubahan besar pula yakni memilih presiden dan wapres langsung sejak 2004 dan kepala serta wakil kepala daerah yang dipilih langsung sejak 1 Juni 2005.

Budaya politik yang ada dalam masyarakat yang masih bercorak patronclient, serta perilaku pemilih yang semata-mata bercorak “voluntary” serta “transaksi material” juga menyuburkan terdapatnya disconnect electoral dimana wakil yang terpilih hanya berjalan dengan agendanya sendiri-sendiri. Dengan demikian, diperlukan adanya transaksi kebijakan pada masa yang akan datang untuk membuat politik Indonesia yang lebih baik.

Untuk mendukung itulah perlu adanya pemeritahan yang accountability danresponsibility. Maka di banyak negara, khususnya negara berkembang banyak menggunakan sistem desentralisasi. Hal ini dimaksudkan agar alokasi penyediaan barang-barang dan pelayanan publik akan menjadi lebih efisien, dan mendorong demokratisasi di daerah. Meskipun demikian, masih ada sisi negatif dan positif dari desentralisasi itu sendiri, maka pemerintah mengeluarkan UU Nomor 22 dan Nomor 25 tahun 1999 tentang kebijakan otonomi daerah. 

Untuk itulah perlu dipakai satu cara untuk mengefektifkan kebijakan desentralisasi, yaitu dengan meletakkannya dalam konteks hubungan antara pemerintah pusat dan daerah yang lebih dinamis. Apabila hal ini sudah terwujud, maka bukan tidak mungkin otonomi daerah akan berjalan dengan baik. dalam UU Nomor 5 tahun 1974, yakni untuk menjaga integrasi nasional, demokratisasi dan efisiensi, efektivitas proses pemerintahan, manajemen pembangunan dan pelayanan pembangunan dan pelayanan di daerah. 
Menurut Brian C. Smith, munculnya transisi demokrasi di daerah berangkat dari suatu keyakinan bahwa demokrasi di daerah merupakan prasyarat bagi munculnya demokrasi di tingkat nasional (1998: 85-86). Dan Smith mengemukakan empat alasan pandangan tersebut yakni, demokrasi pemerintahan di daerah merupakan suatu ajang pendidikan yang relevan bagi warga negara di dalam suatu masyaarakat yang demokratis, pemerintah daerah bisa menjadi pengontrol bagi perilaku pemerintah pusat, kualitas partisipasi di daerah dianggap lebih baik jika dibandingkan apabila terjadi di hanya pusat, legitimasi pemerintah pusat akan mengalami penguatan apabila pemerintah pusat itu melakukan reformasi di tingkat lokal. Namun, hal ini akan terhambat apabila adanya patronase kepentingan di dalam mengalokasikan dan mendistribusikan sumber-sumber politik dan ekonomi di daerah kepada kelompok-kelompok tertentu saja. 

Untuk menjembati hal yang memisahkan antara masyarakat, DPR dan pemerintah, maka diadakan UU yang mengatur tentang pemilihan kepala daerah langsung, DPR maupun DPD langsung. Hal ini dimaksudkan agar tidak terjadi kesenjangan antara masyarakat dan pemerintah serta DPR dan kepala daerahnya. Relasi antara kepala daerah dengan rakyat secara teoritis, bisa lebih baik lagi karena para kepala daerah dituntut memiliki akuntabilitas yang lebih baik. Dan Pilkada yang di adakan secara langsung juga dapat melahirkan relasi baru antara Kepala Daerah-DPRD. Yang akan memunculkan tiga pola yaitu “executive heavy”, “checks andbalances” dan “legislative heavy”. 

Setelah runtuhnya Orde Baru, Indonesia berusaha untuk mereformasi birokrasi yang telah ada, yakni membawa birokrasi netral agar tidak seperti yang terjadi pada masa Orba, saat terjadi otoritarisme. Keinginan untuk membawa birokrasi netral secara politik dimaksudkan untuk menghindari adanya penyalahgunaan kekuasaan terhadap birokrasi. Seperti adanya intervensi politik di dalam penempatan jabatan-jabatan di dalam birokrasi, adanya penyalahgunaan atas sumber-sumber keuangan dan fasilitas-fasailitas publik yang dimiliki oleh birokrat, membuat terjadinya pemihakan-pemihakan kepada kelompok tertentu yang sealiran dengan para birokrat yang bersangkutan.

Dalam taraf tertentu, upaya–upaya yang dilakukan untuk reformasi birokrasi sudah membawa hasil yang cukup berarti seperti mulai berkurangnya fenomena pelibatan dan penggalangan dukungan politik melalui birokrasi sangat minim, jauh berbeda dengan apa yang terjadi pada zaman ORBA. Namun, masih tidak dapat dipungkiri bahwa politisasi birokrasi tidak dapat dihindari. Hal ini berkaitan dengan sifat dasar birokrasi yang tidak lepas dari banyaknya kepentingan dan birokrasi tidak semata-mata bertindak untuk kepentingan publik semata, karena adanya faktor tarikan dari pejabat politik yang terpilih atau berkuasa. Dan usaha untuk meningkatkan pelayanan publik terus dilakukan dengan cara kebijakan desentralisasi, dengan desentralisasi terdapat transfer urusan pemerintahan pusat ke daerah dan juga kepegawaian hingga diharapkan meratanya pelayanan publik sehingga merangsang kreativitas daerah hingga adanya lembaga “one stop Service” di dalam pengurusan perizinan hingga dapat mewujudkan birokrasi yang profesional.

Relasi antara militer dan politik di dalam suatu negara pada dasarnya tidak bisa dilepaskan dari karakteristik sistem politiknya. Di negara otoriter atau totaliter, pengaruh militer di dalam kehidupan politik sangat besar dan merupakan bagian terpenting dari kekuasan, atau bahkan merupakan penguasa sendiri seperti di negara militer. Sementara di negara demokrasi pengaruh militer cenderung mengecil karena adanya paradigma supremasi sipil atas militer. Militer dengan demikian berada di bawah kendali sipil.

Militer dapat tetap berintervensi dalam dunia politik tatkala adanya suasana sistem politik yang sedang berlangsung tidak stabil. Militer memiliki ruang yang lebih leluasa untuk masuk ke wilayah politik di negara-negara yang tergolong lemah, dalam kondisi tidak stabil dan terjadi pembusukan politik. Dengan alasan membuat stabilitas, permintaan, dan legitimasi atau ketika konsep NKRI dianggap dalam bahaya. Antara militer dan sipil terdapat relasi yang saling terkait dalam demokrasi seperti tentara profesional, dimana kontrol dilakukan oleh sipil melalui pemaksimalan profesionalisme di dalam tubuh militer. Cara demikian dilakukan agar tentara merasa dihargai atas kemampuan yang dimilikinya. Dalam hal ini membutuhkan reformasi dalam tubuh militer atau TNI, dan reformasi dalam tubuh TNI atau militer ini berasal dari berbagai tuntutan kelompok, mulai dari kelompok civil society sampai politicalsociety.

Berbicara tentang sistem suatu negara tidak dapat dilepaskan dari sistem perekonomianya pula. Pasca lengsernya Orde Baru, kekuasaan negara terfragmentasi secara vertikal maupun horizontal. Secara vertikal terjadi karena adanya kebijakan otonomi daerah dan terfragmentasi horizontal karena tidak ada lagi kekuatan politik yang dominan di dalam proses-proses politik. Namun, hal ini tidak menjadikan Indonesia menjadi negara kapitalis yang berasas ekonomi pasar bebas. Adanya patronase dalam politik, serta menguatnya kekuatan-kekuatan di luar negara membuat Indonesia cenderung menuju arah “Patrimonial Oligarchic State”, dimana kekuatan yang mengendalikan pasar memperoleh keuntungan yang lebih besar dari yang lainnya. Dan karena hal ini, negara berusaha membuat kebijakan yang lebih berimbang, yakni yang menguntungkan banyak pihak, sebagai mana yang terjadi dalam negara “embedded autonomy”. Konsep Peter Evan tentang “embedded autonomy”Bahwa negara itu memiliki kapasitas tidak tergantung dan dibawah dominasi kelas tertentu, meskipun tidak lepas sama sekali dari keterkaitannya dengankelompok-kelompok yang ada didalam masyarakat.

Selain itu pada masa pasca-orde baru dalam kaitannya, Media massa memiliki perngaruh yang sangat besar terhadap jalannya pemerintahan, mengingat media massa juga berfungsi sebagai media kontrol atas kinerja pemerintah dan penyambung jalan antara aspirasi masyarakat kepada pemerintahan. Mengingat peran dan posisi media massa yang begitu penting, keberadaannya sering dikaitkan dengan demokratis tidaknya suatu negara. Sistem politik yang demokratis memungkinkan media massa lebih bebas. Media massa berperan sebagai lembaga yang aktif di dalam mendorong terjadinya proses demokratisasi dan berpengaruh besar dalam negara demokrasi. Sebagaimana dikemukakan oleh Kenneth Newton dan Jaw W van Deth bahwa terdapat 4 teori untuk menjelaskan ada tidaknya pengaruh media massa yaitu:
1.     Teori penguatan (reinforcement) yaitu teori yang menjelaskan bahwa pengaruh media massa itu minimal.
2.     Teori setting agenda yaitu teori yang menjelaskan bahwa media massa dianggap tidak dapat menentukan apa yang kita pikirkan. Media massa dianggap dapat dan memiliki pengaruh terhadap apa yang kita pikirkan.
3.     Teori priming dan framing yaitu teori priming menjelaskan bahwa media dapat mempengaruhi karna lebih fokus pada isu-isu tertentu bukan yang lainnya sementara teori framing mempengaruhi menjelaskan bahwa media melakukanset up untuk mempengaruhi penafsiran pembaca pemirsa dan pendengar tentang suatu isu dalam makna tertentunya.
4.     Teori efek langsung yaitu teori yang menjelaskan bahwa media dipandang memiliki pengaruh langsung pada sikap dan perilaku seseorang termasuk di dalam perilaku politik. Besar kecilnya pengaruh media massa terhadap politik berkaitan dengan corak sistem politik suatu negara.

Besar kecilnya pengaruh media massa terhadap politik pada kenyataannya berkaitan dengan corak sistem politik suatu negara. Hal ini juga pernah diargumentasikan oleh Siebert, Peterson, dan Schramm (1963), yang mengelompokkan pers menjadi 4 sistem, yakni:
1.       Sistem pers otoriter yaitu sistem pers yang berfungsi menunjang negara. Pemerintah secara langsung menguasai dan mengawasi berbagai kegiatan media massa. Kebebasan pers bergantung pada penguasa yang memiliki kekuasaan yang mutlak.
  1. Sistem pers liberal yaitu sistem pers yang diberi kebebasan seluas luasnya sebagai arena untuk mencari kebenaran tetapi kebenarannya bersifat tidak mutlak dan dikendalikan oleh kelompok tertentu.
  2. Sistem pers komunis yaitu sistem pers merupakan alat media massa pemerintah atau partai komunis yang berkuasa dan merupakan bagian integral dari Negara.
  3. Sistem pers tanggung jawab sosial yaitu sistem yang dianggap memiliki kebebasan tetapi kebebasannya tidak mutlak karena pers dituntut memiliki tanggung jawab sosial terhadap masyarakat.
Karena demikian pers memiliki kecenderungan untuk memiliki paradoks di dalam dirinya. Yakni harus merefleksikan suara masyarakat, menjaga keberlangsungan demokrasi, dan terkadang tidak kuasa untuk memihak kepada pihak-pihak tertentu.
Runtuhnya pemerintahan Orde Baru berpengaruh cukuo besar terhadap kehidupan politik. Dari terkendali kearah yang lebih bebas. Media misalnya secara luas terbuka memberitakan krisis ekonomi menjadi salah satu pemicu pokok bagi adanya perlawanan terhadap pemerintahan yang otoriter.bahkan media oleh berbagai kelompok prodemokrasi telah dijadikan sebagai “channeling” didalam menyuarakan aspirasi.

Meskipun tidak seperti dalam revolusi politik, perubahan-perubahan kelembagaan politik pasca jatuhnya Orba berlangsung cukup cepat. Kelompok-kelompok yang ada di dalam masyarakat (civil society) maupun kelompok politik (political society) yang sudah ada melakukan rekonstruksi sendiri-sendiri bahkan kelompok yang merasa dipinggirkan oleh partai yang sudah ada juga berusaha membentuk partai baru. 

Meskipun demikian, partai-partai Islam dapat dikelompokan dalam dua jenis yaitu formalist Islamic parties dan pluralist Islamic partiesFormalist Islamic partiesadalah partai-partai yang memperjuangkan nilai-nilai Islam ke dalam perundang-undangan dan kebijakan-kebijakan negara diantaranya adalah PPP dan PKS. Sedangkan pluralist Islamic parties adalah partai-partai yang berusaha memperjuangkan nilai-nilai Islam di dalam konteks negara bangsa Indonesia yang plural diantaranya PKB dan PAN. Tidak hanya kelompok Islam yang mengembangkan ideologi, namun kelompok-kelompok yang beraliran di luar Islam juga ikut berkompetisi. Contohnya dengan muncul partai Buddhis Demokrat (Budha), Partai Demokrasi Kasih Bangsa (Kristian), dan lain-lain. namun banyak yang tidak lolos dalam threshold

Secara umum, sekularisme adalah adanya pemisahan antara domain negara dengan domain agama. Negara merupakan domain publik sementara agama merupakan domain privat. Tetapi relasi antara agama dan politik tidak sepenuhnya berlangsung linier. Pada kenyataannya, proses modernisasi tidak berarti adanya peninggalan agama di dalam kehidupan seseorang maupun kelompok. Selain munculnya partai-partai politik yang berbasis agama, juga bermunculan kelompok kepentingan yang berbasis agama. 

Munculnya kembali kekuatan politik berbasis agama atau menguatnya pengaruh agama di dalam proses politik merupakan bagian dari paradoks di dalam perkembangan demokrasi. Hal ini terjadi karena makna demokrasi telah direduksikan semata-mata sebagai instrumen untuk memperebutkan dan mempertahankan kekuasaan melalui pemilu. Hal ini juga dapat dianggap wajar mengingat Indonesia yang berusaha menjalankan demokratisasi.

Masalah Konsolidasi Demokrasi sebagai mana dikemukakan oleh  andreas schelder konsep konsolidasi  demokrasi itu pada awalnya di pahami secara sederhana, pada konsolidasi demokrasi sederhana, demokrasi yang dihadirkan lebih kepada demokrasi prosedural. Proses demokratisasi Indonesia telah mengalami proses pelembagaan  demokratisasi yang cukup bermakna  hal ini terlihat dari mulai adanya penataan, pembagian, kekuasaan yang memungkinkan terjadinya mekanisme  checks and balances, kelembagaan sistem kepartaian dan improvisasi sistem pemilu.
Demokratisasi dikatakan terkonsolidasi apabila terdapat regularitas adanya rutinitas dan kesinambungan didalam mekanisme berdemokrasi, seperti adanya pemilu yang jujur dan adil secara periodik.Seiring dengan gelombang demokratisasi, suatu negara memang relatif mudah mengalami transasi menuju demokrasi. Tetapi transisi semacam itu tidak menjanjikan bahwa negara akan secara terus menerus dalam kerangka demokrasi. Karena itu, semua negara yang berproses menuju demokrasi selalu menghadapi masalah konsolidasi demokrasi. 

Pada kenyataannya, dalam konsolidasi demokrasi sederhana, demokrasi yang dihasilkan lebih pada demokrasi prosedural dan lebih menekankan adanya pemenuhan elemen-elemen dasar yang harus ada di dalam negara demokrasi. Akan tetapi, demokrasi demikian belum tentu mampu menyentuh kepentingan bersama, orang-orang yang menjadi bagian dari negara demokrasi. Dalam perkembangan demokrasi di Indonesia telah mengalami proses pelembagaan demokrasi yang cukup bermakna. Dimulai dari adanya penataan pembagian kekuasaan yang memungkinkan terjadinya proses checks and balance, pelembagaan sistem kepartaian dan improvisasi sistem pemilu, sampai yang berkaitan dengan relasi antara pemerintah pusat dan daerah. Namun, masih banyak kekurangan yang harus segera diatasi. Demokratisasi dikatakan terkonsolidasi apabila terdapat regularitas, adanya rutinitas dan berkesinambungan di dalam mekanisme berdemokrasi. Dengan demikian, demokrasi tidak hanya akan menguntungkan kelompok-kelompok tertentu saja.

Bahasa Pengarang
Bahasa pengarang dalam buku ini menggunakan bahasa yang komunikatif dan Efektif sehingga  mudah dipahami oleh pembaca atau dengan kata lain pesan yang ingin disampaikan oleh pengaran dapat dipahami langsung oleh pembaca khalayak umum walaupun berisi materi perkuliahan.

Keunggulan
Setelah saya membaca dan mencoba memahami tentang segala hal yang berkaitan dengan sistem politik Indonesia pasca Orde Baru , di dalam buku Sistem Politik Indonesia Konsolidasi Pasca Orde Baru ini, kita dapat mengetahui banyak hal dalam politik yang ada di Indonesia, mulai dari sejarah bangsa Indonesia  hingga politik Indonesia pada masa yang akan datang yang bahkan dalam buku ini sudah diprediksi diprediksi akan menjadi seperti apa negara Ini yakni terdapat pda pembahasan bab terakhir . Dalam buku ini banyak hal yang menarik, diantaranya buku ini menyediakan dan menjelaskan proses dan kejadian politik pada masa lalu dan juga pasca Orde Baru dengan cukup lengkap, menyajikan data dengan daftar singkatan pada awal-awal halaman utama untuk dapat lebih mudah dipahami.
Dalam buku ini juga pada setiap babnya diberikan pendahuluan serta penutup yang membantu pembaca mengerti apa yang akan disuguhkan dan dapa yang sudah disuguhkan di setiap babnya.
Selain itu teknik penulisan dari pengarang pun sangat sistematis ditunjukan dengan runtunnya setiap pembahasan dimana salah satu contohnya sebelum menjelaskan pasca orde baru pengarang menjelaskan dahulu mengenai politik masa orde baru. Pengarang juga memiliki sisi analisis yang tajam dan krtis dilihat dari hasil penjelasannya tidak hanya terpaku pada satu sisi atau satu sudut pandang saja melainkan juga melihat aspek-aspek dari sisi yang lain sehingga ketika membaca, pembaca tidak hanya didoktrin oleh satu pemikiran saja melainkan pembaca diajak untuk ikut dalam analisis kritis dari pengarang.

Kelemahan
Sayangnya dari banyaknya keunggulan dari buku ini saya sedikit terganggu dengan beberapa kelemahan yang ada salah satunya seperti pencampuran bahasa Inggris yang hampir menyeluruh dan tanpa terjemahan yang memadai sehingga menyulitkan bagi pelajar baru yang pemula dalam memahami politik apabila tidak didukung oleh kemampuan berbahasa Inggris yang cukup.. Juga penggunaan bahasa asing yang dominan dan digunakan untuk menerangkan perpolitikan Indonesia tanpa filter bahasa Indonesia, dan kadang kala penerangan dan penjelasan yang berbelit dan mengulang membuat buku ini kadang membuat jenuh. Juga tidak adanya gambar otentik dan sejarah yang menompang, membuat buku ini kurang menarik bagi pembaca pemula. Kelemahan dalam buku ini kurangnya memberikan pemahaman bagi pembaca khususnya para pemula sehingga pesan yang diutarakan oleh pengarang tidak tersampaikan pada pembaca khususnya karena penggunaan bahasa asing (Inggris) yang terlalu banyak

Kesimpulan

            Dengan demikian dari resensi ini saya menyarankan bahwa buku ini layak untuk dibaca karena didalamnya pengarang menjelaskan dengan cukup detail mengenai perpolitikan Indonesia, selain itu mungkin saran untuk para pelajar wajib membaca buku ini karena buku ini sangat membuka wawasan kita mengenai seluk beluk politik Indonesia bagaimana Konsolidasi demokrasi pasca orde baru di Indonesia juga akan seperti apa politik Indonesia Kedepan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar