RESENSI SISTEM POLITIK INDONESIA
disusun untuk memenuhi
tugas mandiri mata kuliah ‘Sistem Politik Indonesia’
Dosen Pengampu: Dr.H.Cecep
Suryana Drs.,M.Si
Judul Buku
SISTEM POLITIK INDONESIA
Konsolidasi Demokrasi Pasca-Orde Baru
Pengarang
PROF. DR. KACUNG MARIJAN
Penerbit
Prenadamedia Group
Tebal/Jumlah Halaman
15x23 cm
xxii+364 hlm
Tahun Terbit
Cetakan ke-4, Januari
2015
Nama: Ranti Nuarita
Nim: 1154060066
Kelas: Humas 3B
Buku Sistem Politik Indonesia (Konsolidasi
Demokras Pasca Orde Baru) PROF. DR. KACUNG MARIJAN ini menjelaskan mengenai
Sistem Politi yang ada di Indonesia dengan penekanannya lebih kepada Politik
Pasca Orde baru jga penjelasan mengenai Politik-politik sebelumnya. Dalam buku
ini juga bayak dijelaskan mengenai struktur politik, budaya politik, fungsi
politik serta terdapat contoh-contoh pengimplementasian politik di Indonesia.
Ringkasan
Politik memang selalu
berkaitan dengan kondisi suatu negara, dalam hal ini negara Indonesia yang
menjadi perbincangan utama sesuai dengan judul yang ditulis yakni sistem
politik Indonesia. Dalam hal ini terdapat transfer kekuasaan yang berlangsung
pada saat lengsernya Suharto pada tanggal 21 Mei 1998 kepada wakilnya B. J.
Habibie. Namun, dalam praktiknya dari krisis yang terjadi hingga melengserkan
presiden Suharto tetap saja tidak mengubah banyak keadaan perpolitikan di
Indonesia. Menurut Herbert Feith, ada agenda utama yang harus diwujudkan untuk
mewujudkan ketertiban nasional dan politik. Yaitu: political order, social
order, economic order,legal order, dan security
order.
Kecenderungan Indonesia
terjebak pada sistem politik otoriter adalah adanya sentralitas kekuasaan.
Dimana hal ini tidak memisahkan kekuasaan antara legislatif, eksekutif dan
yudikatif. Untuk itulah sejak lengsernya Suharto diadakan amandemen pada UUD
yang mengatur tentang kekuasaan eksekutif, yudikatif dan legislatif. Adanya
amandemen mulai tahun 2004, presiden dan seluruh anggota MPR dipilih langsung
oleh rakyat melalui pemilu. Hal ini dilakukan agar tidak terulangnya kekuasaan
otoriter seperti zaman Suharto. Demikian juga agar terdapat mekanismecheks and balances yang
seimbang dan terjadinya akuntabilitas serta berjalannya sistem perwakilan yang
ada antara yang terwakili dan yang diwakili.
Sebagai negara yang
masih dalam proses menuju demokrasi yang sesungguhnya, Indonesia tidak lepas
dari fenomena-fenomena munculnya partai-partai baru. Untuk itulah Indonesia
mulai tahun 2008 menggunakan sistem parliamentarythreshold (PT),
yakni di dalam sistem ini hanya partai-partai yang memperoleh suara minimal
2,5% saja yang mampu menarik kursi di DPR. Karena itulah dimungkinkan hanya
kurang dari 10 partai saja yang dapat meraihnya. Tetapi hal ini hanya berlaku
pada tingkat pusat. Sehingga partai yang gagal masih memungkinkan untuk
mengikuti pemilu pada periode berikutnya atau memperoleh kursi di daerah. Dan
dalam buku ini juga disebutkan bahwa apabila sistem threshold diterapkan,
maka sistem kepartaian yang muncul adalah sistem kepartaian multipartai
moderat.
Demokrasi juga ditandai
oleh adanya 3 prasyarat: kompetensi di dalam memperebutkan dan mempertahankan
kekuasaan, partisipasi masyarakat dan adanya jaminan hak-hak sipil dan politik.
Hal inilah juga perlu didukung oleh sistem pemilu yang mumpuni, yang dalam buku
ini diterangkan dengan penjelasan instrumen untuk menerjemahkan perolehan suara
di dalam pemilu ke dalam kursi-kursi yang dimenangkan oleh partai atau calon.
Dan di dalam sistem politik dan pemilu di Indonesia sistem pluralitas/mayoritas
lebih dikenal sebagai sistem distrik. Yang sejak pemilu 1995 Indonesia mulai
menganut sistem proporsional dalam pemilu dan menggunakan sistem penyuaraan
yang dari hanya memilih partai ke memilih partai dan calon yang ada di dalam
daftar partai dan alokasi suara berdasarkan perolehan, bukan hanya nomor urut.
Dengan perubahan besar pula yakni memilih presiden dan wapres langsung sejak
2004 dan kepala serta wakil kepala daerah yang dipilih langsung sejak 1 Juni
2005.
Budaya politik yang ada
dalam masyarakat yang masih bercorak patronclient, serta perilaku
pemilih yang semata-mata bercorak “voluntary” serta “transaksi material”
juga menyuburkan terdapatnya disconnect electoral dimana
wakil yang terpilih hanya berjalan dengan agendanya sendiri-sendiri. Dengan
demikian, diperlukan adanya transaksi kebijakan pada masa yang akan datang
untuk membuat politik Indonesia yang lebih baik.
Untuk mendukung itulah
perlu adanya pemeritahan yang accountability danresponsibility.
Maka di banyak negara, khususnya negara berkembang banyak menggunakan sistem
desentralisasi. Hal ini dimaksudkan agar alokasi penyediaan barang-barang dan
pelayanan publik akan menjadi lebih efisien, dan mendorong demokratisasi di
daerah. Meskipun demikian, masih ada sisi negatif dan positif dari
desentralisasi itu sendiri, maka pemerintah mengeluarkan UU Nomor 22 dan Nomor
25 tahun 1999 tentang kebijakan otonomi daerah.
Untuk itulah perlu
dipakai satu cara untuk mengefektifkan kebijakan desentralisasi, yaitu dengan
meletakkannya dalam konteks hubungan antara pemerintah pusat dan daerah yang
lebih dinamis. Apabila hal ini sudah terwujud, maka bukan tidak mungkin otonomi
daerah akan berjalan dengan baik. dalam UU Nomor 5 tahun 1974, yakni untuk
menjaga integrasi nasional, demokratisasi dan efisiensi, efektivitas proses
pemerintahan, manajemen pembangunan dan pelayanan pembangunan dan pelayanan di
daerah.
Menurut Brian C. Smith,
munculnya transisi demokrasi di daerah berangkat dari suatu keyakinan bahwa
demokrasi di daerah merupakan prasyarat bagi munculnya demokrasi di tingkat
nasional (1998: 85-86). Dan Smith mengemukakan empat alasan pandangan tersebut
yakni, demokrasi pemerintahan di daerah merupakan suatu ajang pendidikan yang
relevan bagi warga negara di dalam suatu masyaarakat yang demokratis,
pemerintah daerah bisa menjadi pengontrol bagi perilaku pemerintah pusat,
kualitas partisipasi di daerah dianggap lebih baik jika dibandingkan apabila
terjadi di hanya pusat, legitimasi pemerintah pusat akan mengalami penguatan
apabila pemerintah pusat itu melakukan reformasi di tingkat lokal. Namun, hal ini
akan terhambat apabila adanya patronase kepentingan di dalam mengalokasikan dan
mendistribusikan sumber-sumber politik dan ekonomi di daerah kepada
kelompok-kelompok tertentu saja.
Untuk menjembati hal
yang memisahkan antara masyarakat, DPR dan pemerintah, maka diadakan UU yang
mengatur tentang pemilihan kepala daerah langsung, DPR maupun DPD langsung. Hal
ini dimaksudkan agar tidak terjadi kesenjangan antara masyarakat dan pemerintah
serta DPR dan kepala daerahnya. Relasi antara kepala daerah dengan rakyat
secara teoritis, bisa lebih baik lagi karena para kepala daerah dituntut
memiliki akuntabilitas yang lebih baik. Dan Pilkada yang di adakan secara
langsung juga dapat melahirkan relasi baru antara Kepala Daerah-DPRD. Yang akan
memunculkan tiga pola yaitu “executive heavy”, “checks andbalances”
dan “legislative heavy”.
Setelah runtuhnya Orde
Baru, Indonesia berusaha untuk mereformasi birokrasi yang telah ada, yakni
membawa birokrasi netral agar tidak seperti yang terjadi pada masa Orba, saat
terjadi otoritarisme. Keinginan untuk membawa birokrasi netral secara politik
dimaksudkan untuk menghindari adanya penyalahgunaan kekuasaan terhadap
birokrasi. Seperti adanya intervensi politik di dalam penempatan
jabatan-jabatan di dalam birokrasi, adanya penyalahgunaan atas sumber-sumber
keuangan dan fasilitas-fasailitas publik yang dimiliki oleh birokrat, membuat
terjadinya pemihakan-pemihakan kepada kelompok tertentu yang sealiran dengan
para birokrat yang bersangkutan.
Dalam taraf tertentu,
upaya–upaya yang dilakukan untuk reformasi birokrasi sudah membawa hasil yang
cukup berarti seperti mulai berkurangnya fenomena pelibatan dan penggalangan
dukungan politik melalui birokrasi sangat minim, jauh berbeda dengan apa yang
terjadi pada zaman ORBA. Namun, masih tidak dapat dipungkiri bahwa politisasi
birokrasi tidak dapat dihindari. Hal ini berkaitan dengan sifat dasar birokrasi
yang tidak lepas dari banyaknya kepentingan dan birokrasi tidak semata-mata
bertindak untuk kepentingan publik semata, karena adanya faktor tarikan dari
pejabat politik yang terpilih atau berkuasa. Dan usaha untuk meningkatkan
pelayanan publik terus dilakukan dengan cara kebijakan desentralisasi, dengan
desentralisasi terdapat transfer urusan pemerintahan pusat ke daerah dan juga
kepegawaian hingga diharapkan meratanya pelayanan publik sehingga merangsang
kreativitas daerah hingga adanya lembaga “one stop Service”
di dalam pengurusan perizinan hingga dapat mewujudkan birokrasi yang
profesional.
Relasi antara militer
dan politik di dalam suatu negara pada dasarnya tidak bisa dilepaskan dari
karakteristik sistem politiknya. Di negara otoriter atau totaliter, pengaruh
militer di dalam kehidupan politik sangat besar dan merupakan bagian terpenting
dari kekuasan, atau bahkan merupakan penguasa sendiri seperti di negara
militer. Sementara di negara demokrasi pengaruh militer cenderung mengecil
karena adanya paradigma supremasi sipil atas militer. Militer dengan demikian
berada di bawah kendali sipil.
Militer dapat tetap
berintervensi dalam dunia politik tatkala adanya suasana sistem politik yang
sedang berlangsung tidak stabil. Militer memiliki ruang yang lebih leluasa
untuk masuk ke wilayah politik di negara-negara yang tergolong lemah, dalam
kondisi tidak stabil dan terjadi pembusukan politik. Dengan alasan membuat
stabilitas, permintaan, dan legitimasi atau ketika konsep NKRI dianggap dalam
bahaya. Antara militer dan sipil terdapat relasi yang saling terkait dalam
demokrasi seperti tentara profesional, dimana kontrol dilakukan oleh sipil
melalui pemaksimalan profesionalisme di dalam tubuh militer. Cara demikian
dilakukan agar tentara merasa dihargai atas kemampuan yang dimilikinya. Dalam
hal ini membutuhkan reformasi dalam tubuh militer atau TNI, dan reformasi dalam
tubuh TNI atau militer ini berasal dari berbagai tuntutan kelompok, mulai dari
kelompok civil society sampai politicalsociety.
Berbicara tentang sistem
suatu negara tidak dapat dilepaskan dari sistem perekonomianya pula. Pasca
lengsernya Orde Baru, kekuasaan negara terfragmentasi secara vertikal maupun
horizontal. Secara vertikal terjadi karena adanya kebijakan otonomi daerah dan
terfragmentasi horizontal karena tidak ada lagi kekuatan politik yang dominan
di dalam proses-proses politik. Namun, hal ini tidak menjadikan Indonesia
menjadi negara kapitalis yang berasas ekonomi pasar bebas. Adanya patronase
dalam politik, serta menguatnya kekuatan-kekuatan di luar negara membuat
Indonesia cenderung menuju arah “Patrimonial Oligarchic State”,
dimana kekuatan yang mengendalikan pasar memperoleh keuntungan yang lebih besar
dari yang lainnya. Dan karena hal ini, negara berusaha membuat kebijakan yang
lebih berimbang, yakni yang menguntungkan banyak pihak, sebagai mana yang
terjadi dalam negara “embedded autonomy”. Konsep Peter Evan
tentang “embedded autonomy”Bahwa negara itu memiliki
kapasitas tidak tergantung dan dibawah dominasi kelas tertentu, meskipun tidak
lepas sama sekali dari keterkaitannya dengankelompok-kelompok yang ada didalam
masyarakat.
Selain itu pada masa
pasca-orde baru dalam kaitannya, Media massa memiliki perngaruh yang sangat
besar terhadap jalannya pemerintahan, mengingat media massa juga berfungsi
sebagai media kontrol atas kinerja pemerintah dan penyambung jalan antara
aspirasi masyarakat kepada pemerintahan. Mengingat peran dan posisi media massa
yang begitu penting, keberadaannya sering dikaitkan dengan demokratis tidaknya
suatu negara. Sistem politik yang demokratis memungkinkan media massa lebih
bebas. Media massa berperan sebagai lembaga yang aktif di dalam mendorong terjadinya
proses demokratisasi dan berpengaruh besar dalam negara demokrasi. Sebagaimana
dikemukakan oleh Kenneth Newton dan Jaw W van Deth bahwa terdapat 4 teori untuk
menjelaskan ada tidaknya pengaruh media massa yaitu:
1. Teori penguatan (reinforcement) yaitu teori yang menjelaskan bahwa
pengaruh media massa itu minimal.
2. Teori setting agenda yaitu teori yang menjelaskan bahwa
media massa dianggap tidak dapat menentukan apa yang kita pikirkan. Media massa
dianggap dapat dan memiliki pengaruh terhadap apa yang kita pikirkan.
3. Teori priming dan framing yaitu
teori priming menjelaskan bahwa media dapat mempengaruhi karna
lebih fokus pada isu-isu tertentu bukan yang lainnya sementara teori framing mempengaruhi
menjelaskan bahwa media melakukanset up untuk
mempengaruhi penafsiran pembaca pemirsa dan pendengar tentang suatu isu dalam
makna tertentunya.
4. Teori efek langsung yaitu teori yang menjelaskan bahwa media dipandang
memiliki pengaruh langsung pada sikap dan perilaku seseorang termasuk di dalam
perilaku politik. Besar kecilnya pengaruh media massa terhadap politik
berkaitan dengan corak sistem politik suatu negara.
Besar kecilnya pengaruh
media massa terhadap politik pada kenyataannya berkaitan dengan corak sistem
politik suatu negara. Hal ini juga pernah diargumentasikan oleh Siebert,
Peterson, dan Schramm (1963), yang mengelompokkan pers menjadi 4 sistem, yakni:
1. Sistem pers otoriter yaitu sistem pers yang berfungsi menunjang negara.
Pemerintah secara langsung menguasai dan mengawasi berbagai kegiatan media
massa. Kebebasan pers bergantung pada penguasa yang memiliki kekuasaan yang
mutlak.
- Sistem
pers liberal yaitu sistem pers yang diberi kebebasan seluas luasnya
sebagai arena untuk mencari kebenaran tetapi kebenarannya bersifat tidak
mutlak dan dikendalikan oleh kelompok tertentu.
- Sistem
pers komunis yaitu sistem pers merupakan alat media massa pemerintah atau
partai komunis yang berkuasa dan merupakan bagian integral dari Negara.
- Sistem
pers tanggung jawab sosial yaitu sistem yang dianggap memiliki kebebasan
tetapi kebebasannya tidak mutlak karena pers dituntut memiliki tanggung
jawab sosial terhadap masyarakat.
Karena demikian pers
memiliki kecenderungan untuk memiliki paradoks di dalam dirinya. Yakni harus
merefleksikan suara masyarakat, menjaga keberlangsungan demokrasi, dan
terkadang tidak kuasa untuk memihak kepada pihak-pihak tertentu.
Runtuhnya pemerintahan
Orde Baru berpengaruh cukuo besar terhadap kehidupan politik. Dari terkendali
kearah yang lebih bebas. Media misalnya secara luas terbuka memberitakan krisis
ekonomi menjadi salah satu pemicu pokok bagi adanya perlawanan terhadap
pemerintahan yang otoriter.bahkan media oleh berbagai kelompok prodemokrasi
telah dijadikan sebagai “channeling”
didalam menyuarakan aspirasi.
Meskipun tidak seperti
dalam revolusi politik, perubahan-perubahan kelembagaan politik pasca jatuhnya
Orba berlangsung cukup cepat. Kelompok-kelompok yang ada di dalam masyarakat (civil society)
maupun kelompok politik (political society) yang sudah ada
melakukan rekonstruksi sendiri-sendiri bahkan kelompok yang merasa dipinggirkan
oleh partai yang sudah ada juga berusaha membentuk partai baru.
Meskipun demikian,
partai-partai Islam dapat dikelompokan dalam dua jenis yaitu formalist Islamic parties dan pluralist Islamic parties. Formalist Islamic partiesadalah
partai-partai yang memperjuangkan nilai-nilai Islam ke dalam perundang-undangan
dan kebijakan-kebijakan negara diantaranya adalah PPP dan PKS. Sedangkan pluralist Islamic parties adalah
partai-partai yang berusaha memperjuangkan nilai-nilai Islam di dalam konteks
negara bangsa Indonesia yang plural diantaranya PKB dan PAN. Tidak hanya
kelompok Islam yang mengembangkan ideologi, namun kelompok-kelompok yang
beraliran di luar Islam juga ikut berkompetisi. Contohnya dengan muncul partai
Buddhis Demokrat (Budha), Partai Demokrasi Kasih Bangsa (Kristian), dan
lain-lain. namun banyak yang tidak lolos dalam threshold.
Secara umum, sekularisme
adalah adanya pemisahan antara domain negara dengan domain agama. Negara
merupakan domain publik sementara agama merupakan domain privat. Tetapi relasi
antara agama dan politik tidak sepenuhnya berlangsung linier. Pada
kenyataannya, proses modernisasi tidak berarti adanya peninggalan agama di
dalam kehidupan seseorang maupun kelompok. Selain munculnya partai-partai
politik yang berbasis agama, juga bermunculan kelompok kepentingan yang
berbasis agama.
Munculnya kembali
kekuatan politik berbasis agama atau menguatnya pengaruh agama di dalam proses
politik merupakan bagian dari paradoks di dalam perkembangan demokrasi. Hal ini
terjadi karena makna demokrasi telah direduksikan semata-mata sebagai instrumen
untuk memperebutkan dan mempertahankan kekuasaan melalui pemilu. Hal ini juga
dapat dianggap wajar mengingat Indonesia yang berusaha menjalankan
demokratisasi.
Masalah Konsolidasi
Demokrasi sebagai mana dikemukakan oleh
andreas schelder konsep konsolidasi
demokrasi itu pada awalnya di pahami secara sederhana, pada konsolidasi
demokrasi sederhana, demokrasi yang dihadirkan lebih kepada demokrasi
prosedural. Proses demokratisasi Indonesia telah mengalami proses
pelembagaan demokratisasi yang cukup
bermakna hal ini terlihat dari mulai
adanya penataan, pembagian, kekuasaan yang memungkinkan terjadinya
mekanisme checks and balances, kelembagaan sistem kepartaian dan improvisasi
sistem pemilu.
Demokratisasi dikatakan
terkonsolidasi apabila terdapat regularitas adanya rutinitas dan kesinambungan
didalam mekanisme berdemokrasi, seperti adanya pemilu yang jujur dan adil
secara periodik.Seiring dengan gelombang demokratisasi, suatu negara memang
relatif mudah mengalami transasi menuju demokrasi. Tetapi transisi semacam itu
tidak menjanjikan bahwa negara akan secara terus menerus dalam kerangka
demokrasi. Karena itu, semua negara yang berproses menuju demokrasi selalu
menghadapi masalah konsolidasi demokrasi.
Pada kenyataannya, dalam
konsolidasi demokrasi sederhana, demokrasi yang dihasilkan lebih pada demokrasi
prosedural dan lebih menekankan adanya pemenuhan elemen-elemen dasar yang harus
ada di dalam negara demokrasi. Akan tetapi, demokrasi demikian belum tentu
mampu menyentuh kepentingan bersama, orang-orang yang menjadi bagian dari
negara demokrasi. Dalam perkembangan demokrasi di Indonesia telah mengalami
proses pelembagaan demokrasi yang cukup bermakna. Dimulai dari adanya penataan
pembagian kekuasaan yang memungkinkan terjadinya proses checks and balance,
pelembagaan sistem kepartaian dan improvisasi sistem pemilu, sampai yang
berkaitan dengan relasi antara pemerintah pusat dan daerah. Namun, masih
banyak kekurangan yang harus segera diatasi. Demokratisasi dikatakan
terkonsolidasi apabila terdapat regularitas, adanya rutinitas dan
berkesinambungan di dalam mekanisme berdemokrasi. Dengan demikian, demokrasi
tidak hanya akan menguntungkan kelompok-kelompok tertentu saja.
Bahasa Pengarang
Bahasa
pengarang dalam buku ini menggunakan bahasa yang komunikatif dan Efektif sehingga mudah dipahami oleh pembaca atau dengan kata
lain pesan yang ingin disampaikan oleh pengaran dapat dipahami langsung oleh
pembaca khalayak umum walaupun berisi materi perkuliahan.
Keunggulan
Setelah saya membaca dan
mencoba memahami tentang segala hal yang berkaitan dengan sistem politik
Indonesia pasca Orde Baru , di dalam buku Sistem Politik Indonesia Konsolidasi
Pasca Orde Baru ini, kita dapat mengetahui banyak hal dalam politik yang ada di
Indonesia, mulai dari sejarah bangsa Indonesia hingga politik Indonesia pada masa yang akan
datang yang bahkan dalam buku ini sudah diprediksi diprediksi akan menjadi seperti
apa negara Ini yakni terdapat pda pembahasan bab terakhir . Dalam buku ini
banyak hal yang menarik, diantaranya buku ini menyediakan dan menjelaskan
proses dan kejadian politik pada masa lalu dan juga pasca Orde Baru dengan cukup
lengkap, menyajikan data dengan daftar singkatan pada awal-awal halaman utama
untuk dapat lebih mudah dipahami.
Dalam buku ini juga pada
setiap babnya diberikan pendahuluan serta penutup yang membantu pembaca
mengerti apa yang akan disuguhkan dan dapa yang sudah disuguhkan di setiap
babnya.
Selain itu teknik penulisan dari pengarang pun sangat sistematis ditunjukan
dengan runtunnya setiap pembahasan dimana salah satu contohnya sebelum
menjelaskan pasca orde baru pengarang menjelaskan dahulu mengenai politik masa
orde baru. Pengarang juga memiliki sisi analisis yang tajam dan krtis dilihat
dari hasil penjelasannya tidak hanya terpaku pada satu sisi atau satu sudut
pandang saja melainkan juga melihat aspek-aspek dari sisi yang lain sehingga
ketika membaca, pembaca tidak hanya didoktrin oleh satu pemikiran saja
melainkan pembaca diajak untuk ikut dalam analisis kritis dari pengarang.
Kelemahan
Sayangnya dari banyaknya
keunggulan dari buku ini saya sedikit terganggu dengan beberapa kelemahan yang
ada salah satunya seperti pencampuran bahasa Inggris yang hampir menyeluruh dan
tanpa terjemahan yang memadai sehingga menyulitkan bagi pelajar baru yang
pemula dalam memahami politik apabila tidak didukung oleh kemampuan berbahasa
Inggris yang cukup.. Juga penggunaan bahasa asing yang dominan dan digunakan
untuk menerangkan perpolitikan Indonesia tanpa filter bahasa Indonesia, dan
kadang kala penerangan dan penjelasan yang berbelit dan mengulang membuat buku
ini kadang membuat jenuh. Juga tidak adanya gambar otentik dan sejarah yang menompang,
membuat buku ini kurang menarik bagi pembaca pemula. Kelemahan dalam buku ini kurangnya memberikan pemahaman bagi pembaca
khususnya para pemula sehingga pesan yang diutarakan oleh pengarang tidak
tersampaikan pada pembaca khususnya karena penggunaan bahasa asing (Inggris)
yang terlalu banyak
Kesimpulan
Dengan demikian dari resensi ini
saya menyarankan bahwa buku ini layak untuk dibaca karena didalamnya pengarang
menjelaskan dengan cukup detail mengenai perpolitikan Indonesia, selain itu
mungkin saran untuk para pelajar wajib membaca buku ini karena buku ini sangat
membuka wawasan kita mengenai seluk beluk politik Indonesia bagaimana
Konsolidasi demokrasi pasca orde baru di Indonesia juga akan seperti apa
politik Indonesia Kedepan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar